Apa gue bener-bener sendiri?

By Awanda Gita - Mei 13, 2020

Akhirnya berakhir di nulis blog lagi, pada episode overthinking kesekian kali. Awalnya gue mau lanjut belajar tajwid yang ngulang dari awal bacaan nun mati karena gue bener-bener lupa.

Tulisan kali ini aku pakek lo gue, karena ngerasa lebih nggak mellow aja kalau pakek sapaan ini, walau sebenarnya di dunia nyata gue jarang make, atau hampir gapernah.

Karena dunia bukan selalu tentang aku, tapi mostly tentang "gue" gak salah kan? Keduanya beda secara tulisan. Secara nyata, dunia ini emang selalu tentang kita, tentang gue, tentang lo. Lo masing-masing punya preferensi sendiri kenapa lo ngelakuin hal-hal yang sedang dan telah berlangsung di hidup lo dan mengambil arti di setiap kejadian yang berlangsung, tapi apa kita semua mampu?. Nggak salah kalau selama ini dunia adalah tentang masing-masing dari lo yang coba mencari hikmah dan pelajaran itu. Selama ini lo yang merjuangin hidup lo sendiri, utamanya dalam ngendaliin emosi lo, nyegah diri lo dari hal-hal yang bakal celakain diri lo, memilih sesuatu yang aman, menyenangkan dan hal-hal yang membahagiakan lainnya. Pengaruh orang-orang di sekitar lo hanya beberapa persen, kecuali lo dipaksa, dan kita sering dikungkung, diarahkan dan dipaksa secara halus. Secara gue dan lo belum benar-benar merdeka. Oke gue paham memang ada beberapa norma yang nggak bisa kita langkahin, gue paham. Secara pembahasan ini menyangkut hak pribadi yang harusnya bisa gue pilih sendiri terkait kehidupan karir, jodoh dan minat yang bisa diterima serta didukung oleh orang-orang terdekat gue. Gue kadang sebel sama orangtua gue sendiri, ada tulisan Gita tentang "Menjadi seorang anak" yang cukup mewakili perasaan gue. Gue dilahirkan sebagai anak tunggal, dan gue juga memiliki kewajiban yang nggak kecil, dimana setiap dalam pengambilan keputusan, gue nggak ada pandangan sama sekali dalam proses pengambilannya. Gue gapunya tempat untuk curhat dan paham apa yang gue rasakan. Ibu gue selalu ngasih semangat, tapi nggak related. Akhir-akhir semangat beliau, beliau end up dengan marahin gue yang intinya gue gaboleh pesimis, dan dibilang gue terlalu kecil hati. Akhirnya gue balik merenungkan apa yang salah dari kalimat yang gue ucapin. Akhirnya pula gue marah, nangis, nada bicara gue agak tinggi lalu dibilang kalau gue berani ke orangtua. 

Singkat cerita, sebenarnya gue disuruh ortu kalau bahas masalah-maslah pribadi anak jaman sekarang harusnya sama sepupu, mereka lebih ngerti. Gue sadar, sebesar apapun perhatian mereka ke gue, mereka gak selalu ada di samping gue saat ini, dan susah buat pahan tentang kondisi dan jalan ceritanya. Keluarga gue termasuk keluarga yang konservatif, dimana profesi kantor, guru dan yang tiap bulan selalu dapat gaji pasti adalah jaminan hidup makmur. Gue gak menampik tujuan baik mereka, tapi dunia sudah berubah, dan kemudian berubah lagi dan akan terus begitu. 

Sahabat atau temen, jangan ditanya, mereka semua mikirin urusan masing-masing. Gue nggak menyangkal, karena lo hidup adalah tentang diri lo masing-masing, yang artinya masih luas jika diterjemahkan. Arti yang juga bisa terlalu sempit didefinisikan sebagai kata egois. Kalau kata gue barusan mungkin sekarang berlaku ke diri gue, ketika gue menerjemahkan "tentang diri lo masing-masing" sebagai kata egois. Angkatan kuliah gue diisi hampir anak-anak yang ambisius, gue gak menyangkal kalau kadang gue juga termasuk. Gue gamau nyalahin orang, karena gue sendiri masih banyak salah. Gue coba menghindari menyebut mereka toxic, even some of them are really toxics. Udah, gue gamau bilang yang aneh-aneh lagi karena lagi puasa.

Gue beruntung, karena gue masih punya teman-teman yang karakternya people-oriented kayak gue, yang bener-bener masih ada sedikit rasa "nggak tegaan" sama temennya sendiri, dan "banyak adanya" ketika kita butuh. Pernah gak sih lo nyadar, mereka ngechat lo ketika mereka hanya butuh lo. Beruntunglah lo kalau masih punya temen yang hanya sekedar ngirim meme lucu ke grup dan nanyain kondisi lo ketika lo kelihatan lagi nggak baik-baik aja. Itu tandanya mereka masih inget lo. Capek? Iya capek dan nggak semua tau gimana jadi temen yang baik.

Sampai sekarang, gue gapernah tau arti kata sahabat. Yang gue tau masih ada 2 temen kecil gue yang masih nyariin gue sampai sekarang, walau jarang kontak-kontakan, gue tau mereka tulus. Selain tulus, gue gabakal ngerti selebihnya. Yang pasti selama ini diri gue sendiri yang jadi tempat curhatan gue. 

Kadang gue berpikir, apa gue bener-bener sendiri? (Keculi Allah) maksud gue dari sisi manusia. Apakah gue yang akan terus bersama diri gue memperjuangkan apa-apa sendiri?. Kadang gue pengen dimarahi sama kakak gue. Kalau ini gamungkin tapi gue pengen. Gaada kakak kandung, yang ada cuman kakak tingkat yang beberapa masih ngasih nasihat.

Gue capek, ketika gue nulis atau mikir sesuatu, gue selalu berakhir dengan merefleksi dan menyalahkan diri gue sendiri. Kadang gue mikir, gue begini apa karena takut salah presepsi? Atau gue gabisa nerjemahin presepsi gue sendiri atau malah gue selalu dibentuk dengan presepsi orang lain yang membuat gue berpatokan kepada itu semua, dimana presepsi-presepsi itu saling menabrak satu sama lain. Sampai sekarang gue belum nemu irisan dari beebagai macam presepsi, yang gue tau hanya batas dari presepsi-presepsi itu. 

Gue gaperlu memaksa lo buat paham dengan apa yang gue tulis. Gue hanya menuangkan apa yang ada dalam otak gue agar pikiran-pikiran ini nggak jadi benang ruwet yang nggak pernah nemu ujung jarum buat dimasukin. 

Sekian dari gue yang masih terus berjuang untuk bernegosiasi dengan diri gue untuk lanjut melakukan hal-hal yang perlu gue lakukan, nyelesaiin skripsi dan belajar lagi.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar