73 Tahun, apakah masih pantas untuk disebut sebagai "pencari jati diri?"

By Awanda Gita - Agustus 16, 2018

73-20= 53, Ketika separuh abad pun belum tahu apa atau siapa itu Indonesia, gak jauh-jauh ngenal Indonesia, mata buat melek aja masih susah, ketika baru saja nyawa ditiupkan oleh sang Kuasa. Ini dini hari tanggal 17 Agustus tepatnya aku nulis, saat kampungku baru kelar karaokean habis tasyakuran malam tujuhbelasan. Biasa, bikin tumpeng, lomba cerdas cermat, pembagian hadiah dan doorprize.

"pencari jati diri" apakah masih cocok disematkan kepadaku seorang mahasiswa semester 5 yang masih bingung sama minat dan bakatnya itu dimana, soalnya semua dia handle dan sok kuat, tapi hasilnya gak maksimal, itu? cukup.

Kalau ngikutin kata orang sih nggak bakal kelar, mangkannya ada yang sering bilang "ojo percoyo jare" maksudnya adalah "jangan percaya "katanya""
tapi sering denger omongan kalau semisal tiap orang itu ada porsinya masing-masing, punya keahlian masing-masing, punya kecintaan masing-masing, namun si "kontra" juga bilang jaman milenium kudu multitasking yang artinya bisa nyambi alias bisa ngerjain ini itu . Hidup memang kudu pinter untuk menelaah ya ternyata.

Setiap semester, setiap tahun rasa liku-likunya beda-beda, rasa anehnya beda-beda, rasa syukurnya apa juga beda-beda dan rasa ngeluhnya apa malah berjuta-juta?

Mencoba menggali potensi diri dan tujuan hidup emang lebih susah daripada mencari pasangan hidup. Kenyataannya seperti itu. Dulu waktu awal banget jadi maba, banyak banget impian yang aku list di peta mimpi mulai dari pertama yaitu senjata mahasiswa "IPS diatas 3, kuliah lancar lulus tepat waktu menangin lomba ini menangin lomba itu, ikutan ke luar negeri dan lain-lain" yang diluar imajinasi kamu, nggak salah kok kalau seseorang seperti itu, kan kata Pak Karno "Bermimpilah setinggi langit, kalau kau jatuh kau akan jatuh di antara bintang-bintang" ini quotes yang ngena banget sih kalau menurutku. Tapi langit terasa jauh untuk digapai tiap waktunya, "seperti pungguk merindukan bulan" jadinya seperti itu pada saat awal mula merasakan sulitnya menjadi seorang maba. Mencoba untuk aktif agar terlihat baik oleh kakak kelas namun ya begini adanya, aku memang gak mau diem, kalau dimarahin pasti nanti nyangkal kalau nggak bener. Ini waktu ospek sih. Menjadi baik tidaklah salah toh?

Aku selalu menjunjung nama baik keluarga keduaku saat itu, kamu tahulah maksudku adalah wadah tempatku berkembang pada saat awal masuk kuliah, sebelumnya aku  sudah punya pengalaman di bidang itu namun, aku terlalu menggampangkan dan masih dalam level standar. Aku gak mau baca, malas, lalai, diantara lingkungan yang kompetitif banget banget, diantara orang-orang yang punya latar belakang beda, pemikiran beda dan  daya nalar yang beda, aku mikir pada saat itu aku nggak bisa lagi bertahan di tempat itu lagi dimana aku juga harus menjaga kepercayaan orangtuaku untuk mempertahankan nilaiku. Fokusku terpecah, satunya nggak jago yang lain ya gitu-gitu aja.

Aku lari menuju tempat yang mungkin agak lumayan mendukung, ranahnya lebih luas dari ini namun bukan nilai satu bidang saja yang aku ambil, melainkan ini lebih general. Woh!! keyakinanku padam oran-orang disini malah menerapkan cara hidup yang lebih kompetitif karena perbedaan latar belakangnya juga makin keliatan, namun aku dalam ranah aman karena dikelilingi orang yang suportif dalam lingkup kecil di dalamnya.

Aku lari lagi menjalarkan semangat untuk tetap mencari dan mencari, kali ini jadi panitia satu kampus, dengan penuh tekanan pula, kalau ini lebih parah lagi parah lagi, karena dituntut buat bener, karena sangkut pautnya dengan informasi yang disebar. Ya begitu, singkatnya akhirnya kepuasan juga menjalar ke tubuh ketika semua yang dilakukan berakhir dengan baik.

Aku lari lagi pada poin kedua, namun dengan ranah yang lebih tinggi, it well-finished, masih tetap melelahkan tapi sedikit menjadi lebih bijaksana dan tidak gopoh dari yang sebelumnya.

Tahun kedua semester ganjil-genap. "Saat kamu memang dituntut untuk konsisten dan mengamati segala kekuasaan Allah yang ada"

Dua tempat aku singgahi, entah dalam pikiranku saat itu aku mikir apa, tapi yang jelas rasa ingin memiliki dan berkontribusilah yang ada ketika mengambil keputusan ini. Dan karena kebanyak rumah yang disinggahi, diri sendiri nggak dipikir, akhirnya malah tujuan utamanya jatuh. Tujuan kuliahnya malah tersingkir. Terus untungnya ada kesempatan buat menyelami apa yang seharusnya jadi tanggung jawab aku sebagai mahasiswa kimia, dengan banyak cari tahu apa aja sih yang bisa dikembangin di duniaku ini. 

Semua emang nggak ditulis secara eksplisit, tujuannya adalah yang membaca agar menduga-duga walau menduga-duga sebenarnya tidak boleh kan? gapapa yang penting menduga-duganya bukan karena negative thinking dan sebagainya.

20 dan masih mencari jati diri apakah masih pantas?
Apakah dulu juga Indonesia pada saat berusia 20 tahun masih seperti itu? 

Dan apakah ketika 73 tahun sepenuhnya Indonesia sudah menemukan jati dirinya?
Dengan berbagai kemelut isu agama yang sangat sensitif, makin mengganasnya kasus korupsi, dengan perkembangan infrastruktur yang luar biasa belakangan ini, apa Indonesia sudah sejalan dengan apa yang diharapkan para pejuang dahulu kala yang dimuat dalam pancasila? Kalian kalian yang tau jawabannya

toh yang di atas hanya sedikit gambaran tentang masa masa mencari jati diri, itu tidak mudah, sulit, perlu pandangan yang luas serta jatuh bangun, begitu juga Indonesia bukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar