Terombang-ambing dalam persepsi yang berbeda
By Awanda Gita - September 28, 2017
Sudah sering rasanya mendengar orang-orang bilang "Persepsi orang itu beda-beda", maka dari itu persepsi atau opini itu nggak bisa disalahin.
setiap orang rasanya gampang banget untuk mengutarakan persepsi mereka terhadap suatu hal, contoh dalam menilai kinerja organisasi dan menilai hasil karya, engga tau kapan mulainya aku mulai kesulitan menemukan persepsi sendiri, setidaknya nggak terlalu lama dari waktu sekarang ini.
Aku rasa semua yang ada di otak jika ingin diungkapkan itu rasanya sulitnya nggak karuan, seperti kaset kotak yang benangnya ketata rapi tapi tiba-tiba "mbundeli" pas waktu udah masuk radio. iya radio yang jaman dulu masih pakai kaset pita yang selalu aku puter pitanya sampai keluar semua pake jari.
Aku kadang terkungkung dalam persepsi sendiri, menutup dari persepsi orang lain dan coba mengutarakan dengan cara berbicara namun hasilnya gagal dan gagap. Di setiap kesempatan aku selalu membayangkan kalau aku coba mengutarakan persepsi tentang suatu hal, aku takut kejadian yang serupa terulang lagi.
Aku pernah diketawain dan nggaktau udah berapa kali karena menyampaikan argumen yang tidak tepat, aku lupa itu kapan dan apa persisnya argumen yang aku berikan, tapi ya! aku pernah. Merasa takut untuk disalahkan lagi, meskipun nggak ada salahnya juga mencoba nyampein pendapat meskipun salah, tapi ketakutanku luar biasa di dalam hal itu.
yang pasti hal semacam ini nggak pernah aku rasain lebih dari sebelum aku masuk kuliah. Dulu waktu SMP-SMA aku nggak pernah sama sekali ikut organisasi, apalagi waktu jaman SMP yang super duper "terjajah" oleh "nepotisme mini" yang sengaja dibuat oleh segerombol oknum, saat aku memang belum tau apa-apa. Mulai dari sana aku merasa bahwa untuk mengemukakan persepsi atau pendapat sangat sulit bahkan dibatasi dan memang ditujukan untuk orang tertentu saja, at least dia ada relasi dengan anak OSIS lah. Untung dulu waktu jaman itu belum ada kritikan dari pihak luar yang bilang "kok gak adil". aku nggamau sih bilang hal apa yang bikin nggak adil, karena yang emang bener-bener adil itu Allah.
Balik nih tentang persepsi yang terkungkung, aku selalu gemetar, keringat dingin, dan deg-degan setiap kali ingin mengutarakan sesuatu, entah karena apa dan bagaimana mekanisme tubuhku ini. Aku sedikitnya tau sih kenapa penyebabnya tapi mungkin hanya segelumit. Ya, karena aku merasa aku dilihat. Dari hal "dilihat" inilah aku merasa benar dan semua orang persepsinya salah, dan hanya aku yang memang benar-benar benar. Hal itu yang membuat kadang aku terlalu ambisi untuk spontan saja menyampaikan pendapat dan hasilnya gagal.
Sebenernya susah buat deskripsiin gimana sistem pola pikirku sendiri, kadang aku ngerasa im good to be a silent person, sometimes juga aku ngerasa gak guna banget tanpa ngasih persepsi atau komentar pada suatu hal.
aku jarang ikut organisai ya dulunya, mungkin ini juga nyebabin pola pikirku gak luas melingkupi banyak hal dan tidak kritis sama sekali. rasa ketakutanku untuk berinteraksi dengan orang banyak makin ke sini makin besar, aku ambivert dominan introvert yang mungkin kurang suka ngomong, aku lebih banyak suka nulis. Sepi, dingin, dan musik itu kayak magnet buat aku berimajinasi bikin cerita yang belum bisa kesampaian menang lomba atau masuk naskah terpilih.
aku takut untuk nyoba, kata persepsi orang sih "bermimpi aja setingi langit gapapa" ada yang bilang juga bahwa "expect less, do more" ada lagi yang bilang "jangan bermimpi tinggi-tinggi, kalau jatuh sakit loh" ada juga yang bilang "kalau mimpi itu jangan diumbar-umbar, di keep aja di dalam doa" ada juga lagi yang bilang kalau 'semakin kamu kasih tau mimpi kamu ke orang lain, berarti semakin banyak orang yang tau dan ngedoian kamu buat mencapai mimpi itu"
mulai dari persepsi yang berbeda-beda tentang mendefinisikan suatu keinginan saja aku sudah mulai terombang-ambing. Harusnya aku pilih persepsi yang mana? persepsi nggak bisa disalahkan katanya, tapi semua itu berada di arah yang berlawanan.
Udah berapa orang temen yang bilang "mimpinya tinggi banget" meskipun pada saat aku bercanda, tapi aku ngerasa dengan ucapan seperti itu, mimpi tinggi itu seperti di ban. Iya nggak? atau aku aja yang salah menanggapi hal ini?
Ketika mengungkapkan persepsi secara lisan menjadi hal yang menakutkan, kadang aku mencoba membuatnya menjadi asik dengan menulis, entah, meskipun nggak ada yang baca di note hp, tapi seenggaknya beban di kepala ini sudah habis, dan leganya Subhanallah.
Dari persepsi tulisan nih ya, ini juga kadang lebih menyeramkan daripada persepsi yang diungkapin secara lisan, seperti halnya banyak banget sekarang yang nulis panjang lebar di story instagram buat menggurui sekelompok orang untuk melakukan aksi yang memberontak atau nulis panjang lebar di TL Line untuk memprotes dan mengkritik suatu hal yang belum tentu kebenarannya. Apa tulisan ini juga seperti itu?
Nggak kok aku gak bermaksud, aku pengen curhat aja masalah kesulitan menyampaikan persepsi versiku di tengah orang-orang yang berlomba memaksa persepsi orang untuk sama dengan mereka, seperti aku dulu.
Dari persepsi tulisan nih ya, ini juga kadang lebih menyeramkan daripada persepsi yang diungkapin secara lisan, seperti halnya banyak banget sekarang yang nulis panjang lebar di story instagram buat menggurui sekelompok orang untuk melakukan aksi yang memberontak atau nulis panjang lebar di TL Line untuk memprotes dan mengkritik suatu hal yang belum tentu kebenarannya. Apa tulisan ini juga seperti itu?
Nggak kok aku gak bermaksud, aku pengen curhat aja masalah kesulitan menyampaikan persepsi versiku di tengah orang-orang yang berlomba memaksa persepsi orang untuk sama dengan mereka, seperti aku dulu.
Selalu ada orang yang mendominasi pada setiap "pengumpulan persepsi" atau yang bahasa lainnya mencapai kesepakatan atau yang lebih sederhana lagi dalam perbincangan.
Aku bukannya nggak suka sih sama orang semacam pendominasi ini, namun kehadirannya kadang menutup persepsi lain yang akan muncul dari orang-orang yang ketakutan seperti aku. Takutnya mereka terbawa oleh arus persepsi orang ini dan ikut, serta kehilangan persepsinya sendiri.
Aku nerjemahnnya persepsi itu pola pikir yang outputnya berupa opini
terombang-ambing itu gak enak,bingung memilah dan menelaah satu demi satu argumen yang masuk secara bersama-sama, critical thinking harus digunakan, namun poor me i don't have that thing i mean aku harus butuh waktu lama buat berpikir dan nggak bisa gitu aja nyaut ketika ada satu perdebatan. Maka dari itu aku mudah banget tergerus opini a.k.a persepsi orang.
Sebenernya banyak treatment yang udah aku lakuin untuk menghilangkan ketakutanku untuk mengeluarkan unek-unek, namun cara-cara itu tak elak membuatku tetap saja, dan aku gagal untuk bertahan di sana. Di lahan yang emang bukan aku banget dan aku ngerasa aku sulit berkembang karena kemalasanku berkembang, padahal kalau seumpama aku mau struggle more aku yakin tingkat percaya diriku bakal naik kembali.
Tempat itu adalah tempat dimana aku udah lima tahun kurang lebih di sana but i end up here.
0 komentar