POHON KERSEN TAK BERTUAN
By Awanda Gita - Januari 23, 2016
Oleh: Awanda Gita
Suara
kesiur angin malam yang menusuk hampir semua tulang rusuk anak-anak yang sedang
asik bermain petak umpet malam itu tak lantas membuatku lepas dari sepasang
mata yang terus kutujukan kepada buah kersen yang matang bak cahaya kecil yang
menyala.
“Buah kersennya sudah matang, ayo ambil sana.”
Ucap salah satu anak yang berlari-lari bermain gobak sodor.
“Enggak
ah kamu aja, aku gak suka, rasanya masam.” Sahut anak lainnya.
Bagiku
buah kersen sangat tidak enak, ya maklum dari aku kecil aku tak suka mengunyah
ataupun sesekali menelannya.
Kriett,
krieett...
bunyi
ayunan di bawah pohon kersen yang sesekali begoyang ketika terdera angin malam
yang kencang.
“Epooon
pulang” panggil pak Ahmed, salah satu warga Ruby yang rumahnya sering dijadikan
tempat perkumpulan RT, ya maklum pak Ahmed adalah ketua RT di kampungku.
“
Iya pak nanti dulu, Epon lagi asyik nih mainnya sama Agha, Aas, nanti dulu
tidurnya” Epon yang terus saja bermain gobak sodor bersama teman sebayanya malam itu.
Doorrr!!!
Jantungku
hampir copot setelah punggungku di tepuk oleh seorang wanita misterius berambut
panjang berkelabang yang tak lain adalah Rosa yang sedang memakai topeng
Batman.
“Gila
Ross kaget banget sumpah.” aku menepuk bahu Rosa.
“
Hahahah rasain tuh lagian aneh banget ngelamun malam-malam gini, gaada temen
ngobrol ya? Rosa mengedipkan mata.
“ Ya kamu itu yang aneh, malam-malam pakai
topeng Batman kayak orang setress hahaha” aku menjulurkan lidah pada Rosa.
“
Pon Epooon, apa kamu tidak takut malam-malam masih main, nanti ada hantu loh.”
Goda rosa pada Epon, adik kesayangannya yang masih berusia 5 tahun itu.
Memang
Rosa adalah teman yang punya banyak bahan untuk dibicarakan, menjahili dan
lain-lain.
“Endak,
Epon gak takut hantu, Epon takutnya sama Allah” Epon menjawab sedikit pelat.
Tak
hentinya aku berpikir anak sekecil Epon tak memiliki ketakutan sedikitpun
terhadap HANTU.
Sahut-sahut
bunyi ranting satu dengan lainnya yang saling bergesekan, daun-daun kersen yang
mulai mengering mengotori pos kamling yang sudah dibersihkan setiap hari,
memang letak pos dengan pohon kersen yang buahnya lebat belakang rumahku itu
saling berdampingan.
Dini
hari sekitar pukul 03.00 aku terbangun dari tidur pulasku di pulau kapuk, ya
aku menyempatkan diri untuk mengambil air wudlu dan bergegas menjalankan sunnah
shalat Tahajjud.
Kricik
Kricik Kricik.... suara air wudlu yang mengalir dari pipa belakang rumahku.
Wess-wess
angin yang terus berkesiur sedari tadi malam membuat badanku menggigil, karena
tempat wudluku juga berada di belakang rumah. Astaghufirullah!!
sontak
aku terkejut melihat sekelebat bayangan hitam yang baru saja berjalan di
depanku.
“Ah
mungkin itu hanya halusinasiku saja, tak
mungkin ada hantu, tak ada hantu!” aku berusaha tenang sambil mengelus-elus
dada.
Aku
mencoba menghilangkan rasa takutku yang semakin menjadi, sunyi sepi dini itu
seperti mendukung bulu kudukku untuk berdiri. Segera aku bergegegas
menyelesaikan wudluku lalu menuju kembali ke dalam rumah.
Alhamdulillah, aku sampai pada rakaat ke 8
shalat tahajjud hari ini. Lagi-lagi sesuatu yang ganjil mengusikku untuk yang
keduan kalinya, nampak bayangan sebuah tangan, dan wanita yang memakai jubah
melintas di depan jendela kamar yang telah aku tutup rapat-rapat. Apalagi
YaAllah, aku berusaha tidak lagi takut,ayat kursi, shalawat Nabi, surat pendek,
semua telah kubaca dengan harapan tak ada makhluk jahat yang mengganggu niat
baikku untuk beribadah.
Aku
coba memberanikan diri untuk membuka kelambu kamar yang tak jauh dari tempatku
shalat tadi.
Jlegerrr!!!
Petir menyambar keras jendela kamar yang mungkin tak seberapa luas itu,
ditambah hujan yang kian derasnya. Tekatku tak berhenti untuk membuka kelambu,
kreeeek!! suara gesekan kelambu yang telah
membuka separuh jalan.
Allahuakbar!!
ternyata apa yang kutebak salah besar, bayangan tangan yang nampak dari dalam
kamar ternyata hanyalah ranting pohon kersen samping rumah Epon yang sudah
mulai panjang.
“ Sepertinya pohon kersen ini perlu ditebang” aku
tak henti menatap ranting-ranting pohon kersen yang membuatku takut tadi itu.
Waktu menunjukkan pukul 03.30 tepat setengah jam setelah aku bangun shalat
tahajjud, aku menghempaskan tubuhku kembali ke tempat tidur, dengan harapan aku
dapat bangun pagi untuk sekolah.
Keesokan
harinya, setelah pulang sekolah, hujan masih dengan bangganya membasahi jalan
setapak yang kulewati, dengan sepatu hitam model perempuan yang aku tenteng
bersamaan dengan kaki yang penuh dengan lumpur.
“Itaqy,
panggil seseorang dari kejauhan”. “Siapa yang manggilku ya?” aku tetap mencari
datangnya arah suara.
“Hoyy
kamu itu cepet banget jalannya, kan aku capek” ucap suara misterius tadi.
“Loalah
kamu toh Dhin yang manggil, aku kira siapa” aku menyenggol tubuh kurus Dhinda
yang basah kuyup terkena hujan.
Sebenarnya
kami sudah hampir setengah perjalanan, tapi aku memutuskan untuk berhenti
sebentar di sebuah gubuk tua di seberang jalan Mutiara.
“Ta’
ngapain berhenti di gubuk? kan kita juga mau nyampek, di belakang rumahmu juga
kan ada pohon, kita bisa berteduh di sana sekalian makan gorengan ibumu yang
enak itu, aku takut di gubuk tua ini” Dhinda menatapku dengan tatapan
meyakinkan.
“
Nanggung Dhin, ngapain juga kita berteduh, orang depannya udah rumahku, ya
mending berteduh di sini, kita kan baru separuh jalan ke rumah, kita kan berdua
jadi kalau ada apa-apa kita hadapin sama-sama” aku menatap mata Dhinda.
“
Kamu bawa apa yaaaa? Dhinda mencari sesuatu
“
Kamu bawa kayu ini, mungkin ditengah kita berteduh nanti ada orang yang berniat
jahat ke kita.” Dhinda menyodorkan sebatang kayu yang lumayan panjang.
“
Kalau bukan orang gimana Dhin?”
“
Maksudmu hantu?” wajah Dhinda berubah menjadi pucat.
Tak
disangka ketika melihat arloji hitamku jam sudah menunjukkan pukul 15.30 hari
mulai petang, hujan sudah agak reda, sedangkan Dhinda ketiduran di dalam gubuk,
setelah mengomel dari tadi.
“Dhin, yuk pulang, udah terang nih, buruan” aku
tetap saja menarik-narik tangan Dhinda berusaha membangunkannya.
Mungkin
sore itu keinginan Dhinda terwujudkan sudah. Bagaimana tidak, sepulang dari
berteduh di gubuk tadi, ibu sudah menyiapkan sepiring penuh gorengan seperti ote-ote,tahu
isi,martabak dan hampir semua ada, dilengkapi sambal petis hitam yang nikmat.
“Hmmmm enak tuh kayaknya” Dhinda mengedipkan
mata.
“Alasan
mau makan aja susah banget Dhin”
Belum
sampai beberapa menit Dhinda dan aku sudah melahap hampir tiga macam gorengan
sekaligus.
“Makan
di bawah pohon kersen memang nikmat ya Ta’, apalagi habis hujan gini, sejuk
banget” Dhinda terus saja melahap gorengan-gorengan yang ada di depannya sambil
mengomel.
“
Lebih enak ditambah gorengannya gratisss lagi, ya kan?” aku mengernyitkan dahi pada Dhinda yang sedari
tadi tidak berhenti bicara.
“Yaampun Ta’ jahat banget” menggerutu sambil menepuk bahu kananku.
Setelah
beberapa menit piring tempat gorenganpun sudah bersih tak berbekas, hanya bekas
minyak goreng yang ada,
“mungkin
ini efek kelaparan atau memang doyan ya?” lamunku.
Dhinda
pulang ke rumahnya, tinggal aku sendiri sekarang yang berada di bawah pohon
kersen tua itu. Niatku ingin mengambil sebuah kersen dari ranting terendah,
namun...
kretek!!!
Ranting yang aku tarik ternyata sudah kering dan rapuh, alhasil aku terjatuh di
bawah pohon, untung saja jarak antara tempat aku terjatuh dan selokan masih
lumayan jauh, tak terpikir bagaimana jika aku tercebur dalam selokan hanya
karena ulah kekanak-kanakanku.
Seusai
shalat Isya’ aku berbincang-bincang dengan pak Ahmed, jika kalian pikir pak
Ahmed seorang RT yang telah kuceritakan tadi, kalian benar! Pak Ahmed, ketua RT
12 yang sekaligus ayah dari Epon serta Rosa. Beliau memperbincangkan tentang
niatnya yang ingin menebang pohon kersen tua yang berada di samping rumahnya
itu.
“
Saya itu rencananya mau nebang pohon kersen ini loh dik, tapi belum ada waktu.” pak Ahmed menunjuk-nunjuk pohon kersen tua
yang berada di depannya.
“Kenapa di tebang pak? Apa tidak dirapikan
saja ranting-rantingnya?”
“Percuma
kalau rantingnya saja yang dirapikan, toh nanti bakal tumbuh lagi, lagian
kasian istri saya, setiap hari nyapu samping rumah, gara-gara daun pohon kersen
ini banyak sekali yang jatuh, kata orang tua dulu, banyak penghuni yang suka
nunggu pohon kersen dik, kuntilanak, gendruwo suka sekali jika ada pohon yang
dibiarkan tua dan rimbun seperti pohon kersen ini” Pak Ahmed bercerita panjang
lebar sembari mengambil sapu lidi yang ada di samping tempat duduknya untuk
menyapu daun-daun kersen yang jatuh.
Menurutku
niat pak Ahmed untuk menebang pohon itu benar, toh nanti pohonnya juga tumbuh
lagi, bisa besar lagi, daunnya juga sering ngotorin halaman, jadi halaman gak
pernah kelihatan bersih, lagian cerita tentang penunggu pohon kersen tadi
membuatku makin takut” aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Bapaaaaakkkkk!!!!
Huaaaaaa!!! Aku takut pak aku takut.... Epon berteriak sambil berlari meuju
rumahnya.
Tak
tahu apa sebabnya Epon berteriak ketakutan sejadi-jadinya, seperti melihat
HANTU saja.
“Kak
rosss, aku takut” ucap Epon sambil memeluk erat kakak tertuanya, ya siapa lagi kalau
itu bukan Rosa.
Entah
mengapa malam itu Epon tak henti-hentinya menangis, sampai-sampai ibuku turun
tangan.
“Ada
apa toh mbak Lip sampai dik
Epon nangis gak berhenti dari tadi?” ucap ibuku, Ibu Lis nama panggilan popouler ibu dikampungku.
Epon nangis gak berhenti dari tadi?” ucap ibuku, Ibu Lis nama panggilan popouler ibu dikampungku.
“
Ndak tahu mbak yu, orang dari tadi mainan sama teman-temannya kok pas pulang nangis”.
“Wah
ada yang tidak beres ini” aku bergegas menemui Epon yang tangisnya tak bisa di
stop.
Tangis
Epon malam itu membangunkan warga Ruby yang sedang asik tidur di bawah selimut
tebalnya, bagaimana tidak Epon menangis dengan suara keras mulai jam tujuh
malam sampai jam sepuluh malam. Tidak main-main, tiga jam lamanya Epon
menangis. Pak Ahmed yang kian bingung apa sebab tangis anaknya tadi, memanggil
pak Ustadz di masjid dekat rumah Aas yang kurang lebih jaraknya 5m dari rumah
Epon.
“Mungkin
terkena barang halus pak” ucap pak ustadz yang kala itu memberi segelas air
yang telah di doai untuk dimunum Epon.
“
Barang halus dari mana toh pak ustadz, wong keluarga kami ini ya rajin shalat”
pak Ahmed mencoba menenangkan Epon sambil mengusap air mata yang jatuh dari
mata Epon.
“
Mungkin mereka tak mau, tempat huniannya diusik manusia” pak ustadz menjelaskan
panjang lebar sambil tetap membaca doa untuk lebih menenangkan Epon.
Alhamdulillah...
tangisnya mulai mereda setelah dibacakan ayat kursi.
Apa
yang ada di pikiran ibu sekarang, sama persis dengan apa yang telah lama aku
pikirkan. Sejak pertama aku melihat bayangan hitam, tangan dan wanita berjubah
itu, aku merasa ada yang ganjil dengan pohon kersen yang berada di samping
rumah Rosa itu. Nampak tak pernah tersentuh tangan penebang sekalipun,
buah-buahnyapun hampir tak pernah terpetik oleh seorangpun, sampai-sampai
tebuang di tanah sia-sia. Cerita pak Ahmed yang telah terekam di memori otakku
tentang penunggu pohon kersen yang dipercaya yang tak lain ialah kuntilanak dan
genderuwo membuatku semakin ganjil. Tapi herannya aku sering sekali duduk atau
sekedar bersandar di bawah pohon itu.
Dingin!
Ya
mungkin pikiranku sama dengan kalian yang suka berteduh di bawah pohon ketika
cuaca sangat panas.
Jangan
tebang!! Kalian pergi dari sini, kalian menggangguku!!! Haaaaaaaaaa,,,
hihihihihihi hadapi aku jika kalian ingin menebang pohon kersen itu hahahahah
Astaghufirullah,
belum genap sebab Epon menangis tadi malam, sekarang sudah ada yang lainnya.
Rosa, kakak Epon, teman yang biasa menjahiliku berteriak-teriak seperti orang
kesurupan.
“Bu
Lis tolong Rosa bu, pak, bapaaakkk cepat ke sini anakmu ini lo MasyaAllah ada
apa ini?” teriak mbak Lip, ibu Rosa yang gugupnya setengah mati melihat anaknya
itu kesurupan.
“
Rosaaa, kenapa bisa begini pak?” tanyaku sambil mengelap dahi Rosa yang penuh
keringat.
Untunglah
mbah Nasir ada pada tepat waktu. Mbah Nasir adalah sesepuh di RT kami, beliau
dianggap menjadi orang pintar, selain dari umur, beliau juga dikenal dengan
orang yang sangat taat sekali beribadah, hampir tak ada waktu yang ia
sia-siakan untuk pergi ke masjid.
“Pak
Ahmed, ada apa dengan Rosa?” tanya mbah Nasir sambil menuju masuk ke rumah pak
Ahmed.
“Mbah
tolong mbah, tolong Rosa, Rosa kesurupan” Pak Ahmed mempersilahkan mbah Nasir
melihat kondidi Rosa yang masih tetap beteriak-teriak kencang.
“Assalamualaikum”
pak ustadz Haris datang.
Rumah
pak Ahmed ramai dikerumuni warga yang melihat Rosa kesurupan. Tegang, takut,
gelisah dapat tergambar jelas dari ekspresi mereka semua. Entahlah aku hanya
bisa berdoa, banyak membaca shalawat nabi di samping telinga Rosa, walau aku
berusaha menutupi rasa takutku mendengar celotehan-celotehan misterius dari
Rosa. Tapi aku yakin, bukan Rosa yang mengendalikannya, tapi ada orang lain di
dalam tubuhnya.
Setelah
beberapa jam mbah Nasir dan Ustadz Haris mencoba menyadarkan Rosa, akhirnya
Rosa bisa terbangun dengan sadar, Alhamdulillah. Rosa seperti orang ling-lung
yang tak tahu habis diapakan dia. Pak Ustadz dan mbah Nasir tetap menenangkan
Rosa yang masih terengah-engah.
Bagaimana
bisa hal ganjil itu terjadi pada Rosa dan Epon dalam waktu berdekatan, aku tidak
ingin berburuk sangka, tapi ya itulah kejadiannya. Apa ini akibat dari niat pak
Ahmed yang ingin menebang pohon kersen samping rumahnya itu,
“tapi
apa mungkin si penunggu pohon yang katanya kuntilanak sama genderuwo itu marah?
padahal penebangan belum sama sekali dilakukan.
Siang
hari saat matahari berdiri tepat di atas ubun-ubun kepala. Pak Ahmed beserta
seluruh warga Ruby sudah berdiri di depan pohon kersen tua itu dengan sebuah
gergaji mesin panjang, celurit, pisau dan lain-lain. Apa yang akan mereka
lakukan?
Mbah
Nasir berusaha mencegah aksi pak Ahmed dan seluruh warga yang ingin menebang
pohon kersen tua itu.
“Apa
yang kalian lakukan?” mbah Nasir menatap seluruh warga dengan tatapan marah.
“Kami ingin pohon kersen tua angker ini di
tebang.” Ucap seluruh warga sambil mengacung-acungkan golok yang mereka bawa.
Entahlah
mungkin mereka berpendapat sama denganku yang menganggap pohon kersen itulah
yang menyebabkan Epon menangis semalaman dan Rosa yang tiba-tiba kesurupan.
“Makhluk
ghaib itu bukan untuk di musuhi, tapi di akrabi.” mbah Nasir menepuk pundak pak Ahmed”
“Bagaimana
di akrabi mbah? kehadirannya sangat tidak kami inginkan, mereka mengganggu”.
“Jika
kalian tetap ingin menebang, usirlah makhluk yang menghuni pohon kersen ini
dengan baik, dengan harapan mereka tak dendam ataupun kembali di lain waktu”
Tatapan mbah Nasir seakan-akan dapat
berinteraksi dengan makhluk penunggu pohon kersen angker itu. Tak tahu apa
sebabnya tiba-tiba angin menderu kencang sekali, menerbangkan seluruh daun-daun
kersen yang menumpuk.
“Mungkin makhluk itu telah pergi ke tempat
lain” gumamku.
Sontak seluruh warga menebang pohon kersen tua
yang dianggap angker itu, harapan mereka hanya satu, tak ada lagi hal-hal
ganjil yang mengganggu seluruh warga Ruby. Gergaji mesinpun telah dinyalakan,
di sebuah stop kontak yang bersumber listrik dari rumah pak Ahmed. Rosa dan
Epon nampaknya sudah mulai tenang, meskipun Rosa belum tau makhluk apa yang
telah masuk ke dalam tubuhnya mungilnya itu. Warga terus saja menebang hingga
ranting pohon habis, anak-anak kecil di kampung kami berebutan buah kersen yang
jatuh bergerombolan. Rasa takut akan penunggu pohon kersen telah sirna dari
benak mereka. Yang mereka sayangkan hanyalah tidak ada tempat berteduh serindang
di bawah pohon kersen. Siang itu kampung kami bak pesta buah kersen, bayangkan
saja buah kersen yang terkumpul hampir 3 ember besar, luar biasa!
Entahlah
pohon kersen itu di tanam siapa dan siapa pula yang membiarkannya tak terawat,
aku hanya tau siapa yang memberi kesempatan pohon itu untuk hidup. Allah ya
dialah yang kuasa. Biarlah misteri pohon kersen tak bertuan itu menjadi misteri
yang belum terpecahkan tapi sudah mendapatkan solusi. Hihihihi! Hihihihi!
Hihihihi entah suara siapa dan apa maksudnya, samar-samar suara itu terdengar
dari sisi belakang rumahku, tempat yang dulu berdiri pohon kersen angker, petir
terus menggelegar, sampai menitikkan tetes-tetes hujan...
0 komentar